Digging up the past adalah slogan yang terlalu kondang di kalangan para arkeolog. Ini mewakili stimulan mereka untuk mengungkapkan era kemudian lewat usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban di era kemudian yang diharap sanggup beri tambahan pelajaran kepada kehidupan saat ini dan di era mendatang.
Tapi slogan itu kiranya pas juga dipakai oleh kami saat ini yang konsern pada pentingnya pelurusan sejarah. Terlebih sesudah Presiden Jokowi – memenuhi janji kampanye saat pilpres tahun kemudian – meyakinkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak lepas berasal berasal berasal dari kiprah santri dan para kiai di didalam melawan penjajah yang saat itu tetap berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal bersama arti Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri muslim berasal berasal berasal dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’iy. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya terlalu dimuliakan.
Kita pasti berharap, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan slot gacor hari ini janji bagi keperluan politik pencitraan, tapi ada misi yang lebih jauh, yaitu usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah. Misi ini terlalu mesti gara-gara pelurusan histori akan berpengaruh besar di didalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di era mendatang.
Kita tahu, histori memang tidaklah netral. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang terlalu mengenai pada siapa yang menuliskan, dan atas basic keperluan apa histori itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan keperluan politik penguasa, kejahatan penulisan histori sering terjadi.
Setidaknya ada 3 kejahatan penulisan histori yang dijalankan bersama obyek untuk mengaburkan peran Islam di didalam histori bangsa dan negara ini.
Pertama, penguburan atau peniadaan momen sejarah.
Salah satu contoh paling nyata, ya soal Resolusi Jihad itu. Bila histori pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, harusnya akan terbaca terlalu tahu peran besar para santri yang tergabung di didalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung di didalam Sabilillah di didalam periode merawat kemerdekaan Indonesia. Lebih spesifik peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang saat itu, bersama membonceng sekutu, hendak ulang bercokol.
Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu udah mendorong puluhan ribu muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda bersama gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, barangkali stimulan melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Tapi, di didalam buku sejarah, momen mesti itu tidak ditulis. Sungguh aneh, momen 10 November tetap disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang mengakibatkan momen 10 November sanggup berlangsung malah disembunyikan.
Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah tidak benar satu buku yang berasal berasal berasal dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang nyaris 1/2 abad dikaburkan catatan histori itu terbongkar” melukiskan stimulan untuk mengungkapkan kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, momen mesti ini memang tidak mendapat perhatian yang layak berasal berasal berasal dari para sejarahwan.
Kedua, pengaburan momen sejarah.
Contohnya, siapa memang inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila histori mencatat secara jujur, harusnya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan berasal berasal berasal dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang pada lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, yang mesti disebut sebagai cikal akan kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI saat itu terlalu memang berbentuk nasional, ditandai bersama eksistensinya di lebih berasal berasal berasal dari 18 lokasi di Indonesia, dan bersama obyek yang terlalu jelas, yaitu melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo memang cuma perkumpulan kecil, terlalu elitis, khususnya rasis, dan juga sama sekali tidak mempunyai spirit perlawanan pada Belanda. Tapi mengapa justru histori memasang Boedi Oetomo sebagai pelopor?
Ketiga, pengaburan konteks momen sejarah.
Tentu bukan sebuah kebetulan belaka saat Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam – sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah bersama sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, kemana Ki Hadjar saat itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Sebab, bila itu dijalankan maka yang akan mengemuka pasti adalah spirit atau stimulan Islam. Dalam setting keperluan politik penguasa saat itu, perihal itu sangatlah tidak dikehendaki.
Padahal, spirit Islam memang udah lama menjadi basic perjuangan kemerdekaan di era lalu. Peperangan yang berlangsung pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh stimulan jihad melawan penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri berasal berasal berasal dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus menerus selama abad ke-19 tetap dibawah bendera Islam. Perlawanan yang dijalankan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien berasal berasal berasal dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga bersama perang Padri. Sebutan Padri melukiskan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Jadi, tahu sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, khususnya menghalau peran Islam di didalam histori perjuangan kemerdekaan dan juga menghalau spirit Islam berasal berasal berasal dari wajah histori bangsa dan negara ini.
Oleh gara-gara itu, penetapan Hari Santri Nasional mesti sanggup dijadikan momentum untuk melawan kejahatan histori itu, dan juga usaha menulis ulang sejarah: berkenaan apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan histori nasional lainnya, juga histori pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam sanggup di letakkan secara tepat. Sejarah di didalam arti al Qur’an sebagaimana kisah, membawa persentase ibrah atau pelajaran. Pengaburan khususnya penguburan histori berasal berasal berasal dari fakta yang memang pasti akan menutupi ibrah yang harusnya sanggup didapat.
Maka, bila mengacu kepada histori yang benar berkenaan peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lannya, juga peran KH Hasyim Asy’ari bersama Resolusi Jihadnya dan juga peran Hizbullah – Sabilillah, kami pasti akan beroleh spirit Islam itu. Juga bahwa Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat slot888 hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah bersama misi untuk menyembah Sang Khaliq dan memakmurkan bumi bersama mobilisasi segala titahNya. Jadi, kebangkitan bukan cuma sebuah kata sloganistik, tapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan di didalam seluruh faktor kehidupan bangsa berasal berasal berasal dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang beri tambahan rahmat bagi semua. Itulah kebangkitan bersama spirit Islam, yang saat itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. Spirit Islam semacam itulah yang dibutuhkan sebagai sumber kekuatan perjuangan faedah membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi.
Jadi, Hari Santri Nasional harusnya bukan sekadar digging up the past (mengungkap era lalu), tapi digging up the truth (mengungkap kebenaran)!